Selasa, 10 Januari 2012

irama hujan

tetesan air di jendela kamarku, mulai membuatku mengingat lagi dirinya.
senyumnya,suara tawanya dan kata-kata yang pernah diucapkan.
setiap kali kami bertemu pasti hujan turun seolah meminta kami berdansa dalam hujan.
aku mulai menari dibawah rintik hujan yang menyapa bias kenangan dalam ingatanku, hanya sekedar untuk mengingatnya.
wajahku tersapu air dari langit dengan irama syahdu.
kali ini aku berdansa sendiri, kubentangkan tangan menampung tetesan air yang menggelitik tanganku.


hujan melantunkan nada indah dalam bait alam.
namun, kini reda menyisakan jembatan pelangi berwarna

aku berhenti menari, mencoba tersenyum pada pelangi.
aku tahu bahwa mentari tetap memberikan pelangi saat hujan berhenti
tapi aku akan menanti hujan karena dialah yang mengajariku menari.

jika hujan datang kabari aku yaa??
karena aku ingin bilang kalau aku merindukannya.

*Hening prahara*

selaksa hawa mentari menyengat hingga ulu hati, tangisan air mata tumpah ruah tak berhenti, menangisi kehampaan diri. aku katakan pada dunia "takdir memang kejam." tak henti-hentinya dia berikan keburukan dalam lembar kisah hidup ini. pilu,sendu dan haru menjadi satu bagian dalam episode kehidupan seorang manusia yang gelisah akan kasih TuhanNya. dia mengutuk takdir, menertawakan kebahagiaan dan mencibir simpati. Enyah semua harapan, hilang semua asa, mengutuk diri dalam simfoni kegelapan tak tahu diri.
denting nada mengalun sepi, mempertanyakan keyakinan diri. indah namun jauh kugenggam...pertanyaan menyiksa diri seolah warna pelangi ikut terkikis. inilah duniaku sekarang, hitam legam tak berwarna. ada amarah disana ada kecewa disana dan ada benci disana.
"berdamailah dengan warna, kau akan lihat bahwa merah itu ada tanda kemarahan, kuning itu ada tanda kasih sayang, hijau itu ada tanda pembaruan dan biru akan ada sebagai tanda harapan yang tinggi, semua warna adalah satu."
"tidak" selorohku dengan kebencian yang nyata. semua warna itu pudar seiring dengan keyakinanku pada Tuhan.
"jika warna itu pudar dimatamu, namun di bumi tidak. kau menutup mata menghindari kenyataan."
"berdamailah dengan waktu karena dia lah yang akan mengajarkanmu kesabaran." racaunya lagi
"percuma,," jawab kebisingan pikiran. "waktu tidak akan pernah mengerti arti sebuah penantian.
" tapi hanya waktu yang bisa mengerti arti pengorbanan atau kau hanya menanti tanpa berkorban?"
" diaaam..." sergahku cepat
 mengalun pelan hingga bait akhir simfoni harapan.
"berdamailah dengan takdir, karena hanya itu yang kau butuhkan."
bisu dalam heningnya jiwa.
*hening prahara*